CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 07 November 2011

Filsafat Keindahan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Manusia pada umumnya senang pada sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam
maupun terhadap keindahan seni. Keindahan alam adalah keharmonisan yang menakjubkan dari hokum-hukum alam, yang dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah keindahan buatan atau hasil ciptaan manusia, yaitu buatan seseorang (seniman) yang mempunyai bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah.
Rata-rata manusia apabila melihat sesuatu yang indah pasti akan terpesona. Memang benar, tidak semua orang memiliki kepekaan terhadap suatu keindahan. Akan tetapi pada umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan.
      Keindahan tentang seni telah lama menarik perhatian para ahli atau filosof, sejak zaman plato sampai zaman modern sekarang ini. Teori tentang keindahan seni ini muncul karena mereka menganggap bahwa seni adalah pengetahuan perspektif perasaan yang khusus. Keindahan seni ini juga telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban manusia, oleh karena itu dalam makalah ini akan kami bahas tentang konsep keindahan.
1.2       Rumusan        Masalah
      1. Apa itu keindahan?
2. Apa sifat keindahan subjektif atau objektif?
3. Apa ukuran keindahan?
4. Apa fungsi keindahan dalam kehidupan manusia?
5. Hubungan keindahan dan kebenaran?

1.3       Tujuan
       1. Mengetahui apa itu keindahan?
2. Mengetahui sifat keindahan subjektif atau objektif?
3. Mengetahui ukuran keindahan?
4. Mengetahui fungsi keindahan dalam kehidupan manusia?
5. Mengetahui hubungan keindahan dan kebenaran?

BAB II
PEMBAHASAN


2.1       Keindahan
            Keindahan berasal dari kat indah yang berarti bagus, cantik, elok, dan molek. Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".
Persoalan mengenai dasar pengalaman estetis sendiri muncul sejak abad 18 setelah berkembangnya matematika. Semua pemikir cenderung mencari dasar dasar yang kuat yang bersifat matematis untuk moral, politik hingga estetika. Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam ciptaan Tuhan, pada masa ini pengalaman estetis dikaitkan dengan pengalaman religi. Pada jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolak ukur lain seperti fungsi, efisiensi, yang memberi kepuasan, berharga untuk dirinya sendiri, pada cirinya sendiri, dan pada tahap kesadaran tertentu.
Kajian mengenai keindahan telah didokumentasikan dari jaman antik hingga sekarang. Pada jaman antik keindahan dalam Arsitektur dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan keindahan obyek-obyek lainnya, akan tetapi secara mendasar tingkat keindahan pada aneka objek itu sama penting.Pada abad pertengahan, penelitian tentang keindahan umumnya diklasifikasikan sebagai cabang dari teologi. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keindahan adalah atribut dari Tuhan. Penulis yang patut dicatat adalah Augustinus (354 -430 : De vera religione ). Ia mengatakan bahwa keindahan berdasarkan atas kesatuan dan keberaturan yang mengimbangi kompleksitas. Masing masing cara mengatur itu adalah melalui rhythm, simetri atau proporsi-proporsi sederhana (perbandingan ukuran yang enak dilihat).
Filosof lain yang terkenal adalah Thomas Aquino ( 1225 - 1274 ), menulis mengenai esensi dari keindahan. Rumusannya yang terkenal adalah "keindahan berkaitan dengan pengetahuan". Sesuatu disebut indah jika menyenangkan mata sipengamat, namun disamping itu terdapat penekanan pada pengetahuan bahwa pengalaman keindahan akan bergantung pada pengalaman empirik dari pengamat. Hal yang selalu mencolok adalah kondisi dan sikap terhadap subyek keindahan, persiapan individu untuk memperoleh pengalaman estetik. Selanjutnya, ia berpikir bahwa keindahan adalah hasil dari tiga sarat : keseluruhan ( lat. Integritas) atau kesempurnaan, keselarasan yang benar ( lat. Proportio ) dan kejelasan atau kecemerlangan.
Secara umum gagasan Thomas Aquinas merupakan rangkuman segala filsafat keindahan yang sebelumnya telah dihargai. Sejalan dengan Aristoteles, Thomas Aquinas menekankan pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia. Ketika mengkaji secara empirik obyek yang sulit untuk didefinisikan atau diukur secara langsung, pendefinisian dapat dipermudah dengan perbandingan dengan obyek objek atau benda lain, yang lebih mudah untuk dikaji, karena telah dikenal. Kemudian, daripada menggunakan real definition untuk sementara dapat digunakan definisi nominal untuk objek atau benda tersebut. Cara ini telah dimanfaatkan dalam pengkajian tentang keindahan oleh St.Augustinus dan Thomas Aquino.
Jauh sebelumnya, pada kebudayaan Yunani, definisi definisi nominal sudah banyak digunakan seperti pada tulisan Plato "Dialog", dimana terdapat beberapa bagian yang mencoba untuk memperjelas pengertian kata "keindahan". Metoda yang dilakukan tidak benar-benar empirik; metoda yang digunakan pada jaman ini mirip dengan fenomenologi modern yang menekankan terjadinya ilham Seni dalam penciptaan karya Seni itu sendiri dan juga menekankan kesinambungan pengamatan karya Seni muncul dan berkembangnya rasa keindahan atau pengalaman estetis. Tulisan tulisan Plato mengenai keindahan banyak didasari pada doktrinnya mengenai "idea". Menurut Plato segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan peniruan (mimesis) dari yang asli, dan yang asli menurutnya adalah yang terdapat didunia atas saja idea bukan di dunia nyata ini dan adalah jauh lebih unggul daripada kenyataan didunia ini.
Selanjutnya Plato berpendapat bahwa seseorang seharusnya mencoba menemukan pengetahuan dibelakang segalanya, yaitu pengetahuan tentang yang nyata dan permanen yang hadir sebagai pengertian tentang 'idea'. Satu dari unsur/ciri 'idea' itu adalah keindahan sifat permanen yang dimiliki oleh semua objek objek yang indah. Plato menitik beratkan pada pengalaman awal dari dirinya dan muridnya ( audience ), dan juga pada maksud-maksud yang diakumulasikan pada kata kata dari bahasa konvensional. Ketika memahami kata Yunani untuk indah, kalos, Plato mencatat bahwa kata ini pertama bermaksud 'baik' dan 'pantas'.
Pada abad pertengahan di Barat, tekanan diletakan pada subjek, proses yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman keindahan. Pada jaman modern, tekanan justru diletakkan pada obyek, sehingga tampak bahwa estetika dipertimbangkan sebagai dari cabang dari sains, khususnya filsafat dan psikologi.
Melihat hal tersebut, khususnya dalam hubungan dengan tulisan ini, maka pertimbangan estetika dalam pengolahan rupa setidaknya dapat didekati melalui :
a. Pemahaman karya sebagai obyek estetik.
b. Pemahaman terhadap manusia sebagai subjek yang mengamati atau menciptakan karya yang estetik.

2.2    Sifat Keindahan subjektif atau objektif

            Dalam estetika sebagai filsafat seni, ada tiga tema yang terus debat yaitu seniman sebagai subyektivitas; karya seni sebagai obyektivitas ungkapan seniman ke publik; dan penilaian seni tidaknya dalam apresiasi maupun kritik seni.Arus sekolahan yang mendasarkan ukuran estetika dari dalam karya itu sendiri disebut intrinsik (misalnya, sastra yang diapresiasi lewat tema, alur kisah, penokohan, klimaks cerita, padahan) berusaha obyektif menilai sastra dari dalam karya sastra itu tidak berdasar senang atau tidak senang yang subyektif. Sementara, penilaian ekstrinsik(misalnya, sosiologi sastra, berarti menilai sastra dengan ukuran ilmu sosiologi yang dari luar sastra itu sendiri) hingga subyektivitas penilai, misalnya sosiolog menonjol dalam mengukur karya itu.
Sekolahan ini dihadapkan pada persoalan filsafat yang bertanya secara mendasar bagaimana subyektivitas seni bisa menjadi obyektivitas indah itu sendiri? Secara ringkas, filsafat seni berabad-abad justru karena sejarah pralogis, logis-modernis, dan posmo setiap kali harus menjawab soal karya seni yang indah (dari subyektivitas seniman maupun apresiator publik) adalah BENAR-BENAR INDAH bagi publik? Kesulitan menjawab pertanyaan ini adalah kesadaran baru yang semakin berkembang bahwa indah, benar, dan baik itu adalah hasil olah apresiasi dan konstruksi nilai tiap zaman dalam apa yang disebut sebagai konstruksi nilai budaya. Jadi, yang indah menurut konstruksi nilai kultural yang menekankan utilitas akan diukur dari manfaat karya itu. Sedang yang indah menurut konstruksi tradisi yang tidak membedakan tahap-tahap pralogis dan logis serta menaruh kehidupan itu sendiri sebagai yang selalu dirayakan dan dirawat lantaran keindahannya, maka estetika di sini diukur dari apakah ia merusak eko kehidupan atau ia merawat dan memperindah kehidupan itu sendiri.
Konstruksi nilai ukuran logis- modernis estetika dalam filsafat seni Barat memuncak dalam titik estetika sebagai ukuran harmoni antara yang asri dan yang elok; antara yang inspiratif secara budi dan yang intuitif secara rasa; yang oleh Hegel diacu pada estetika karya-karya seni klasik dan romantik dari konstruksi nilai zamannya, di mana pengheningan dan pengendapan refleksi kesadaran akal budi yang makin sadar diri menaruh spirit atau roh lebih tinggi dari yang materi. Oleh Immanuel Kant, ukuran penghubung subyektivitas dan obyektivitas estetika dalam karya seni didasarkan pada yang ia sebut sebagai sublim, yaitu capaian seniman dalam karyanya yang sudah diendapkan oleh kesadaran budi hingga formanya tertangkap sublim serta mengatasi materia atau yang fisik. Sekolahan pendasaran logis- estetis ini, mempunyai kesulitan ketika harus membawa ukuran sublim itu ke kebenaran atau truth secara filsafat. Sampai hari ini estetika tidak pernah bisa masuk dalam filsafat sistematika logis karena muatan dan kentalnya bobot subyektivitas.
Karena itu, ketika kehidupan dengan ragam dimensi dan tidak bisa hanya dipilah-pilah dalam filsafat logis sistematis serta kesewenangan menentukan ukuran keindahan berdasar logika modernitas dengan kekuasaan logosentrisme (yang logos itulah yang paling benar) direaksi dengan sekolahan postmodernisme yang tidak hanya menolak merumuskan ukuran estetika dari sublim-tidaknya, tetapi juga menolak perumusan aliran terhadap dirinya karena keindahan untuk mereka adalah perayaan masing-masing seniman terhadap kehidupan yang beragam dan penentuan estetikanya selalu in the making. Untuk keluar dalam mencari ukuran estetika karya seni pertama-tama bisa diolah lewat mengembalikan dikotomi logis dan pralogis kembali ke sebuah rentang kekayaan kehidupan yang sebelum filsafat Barat Socratian sama penghargaannya dengan realitas kekayaan kehidupan di peradaban-peradaban lain yang menyumberkan estetika pada religiositas dan festival perayaan kehidupan untuk diukur seni tidaknya. Maka tidak heran seorang Nietszche bereaksi pada konstruksi melulu budi dan sisi logis Apolonian estetika sejak Socrates untuk dikembalikan ke pasangan kembarnya, yaitu daya gairah dan ledak dahsyat kehidupan yang Dyonisian, di mana seni dan tidak seninya estetika diukur dari pathos dan kehendak untuk mendayai kehidupan dalam will to power.




2.3       Ukuran Keindahan
Konsep teoritis tentang keindahan mungkin pertama kali muncul di masa Yunani kuno. Sampai Abad Pertengahan ada beberapa persamaan dalam ukuran keindahan mereka. Yang indah itu haruslah:
  1. Seimbang, teratur, proposional: Plato, Phytagoras, Thomas Aquinas.
  2. Dapat dijadikan sarana untuk membawa penikmatnya menuju kontemplasi, melepaskan diri dari keterkungkungan subjek, untuk mencapai keindahan yang ada ‘di seberang sana’: Plato, Plotinus, Agustinus.
  3. Menentramkan jiwa, mengingatkan pada logos, keteraturan dan simetri: Stoa/Epikurus.
  4. Sesuatu yang terjadi dalam diri si subjek pada pengalamannya berinteraksi dengan objek keindahan: Aristoteles, Thomas Aquinas.
Kita dapat juga mengukur keindahan melalui beberapa argument dari berbagai peristiwa yang pernah kita saksikan, kita simak, atau bahkan hingga kita amati. Suatu masalah yaitu, lekak-lekuk tubuh pria atau wanita memiliki nilai estetis amat indah sebagai seni teologis. Tuhan menyukai keindahan dengan maha karya indah-Nya. Tapi, apakah orang bisa bebas mengekspresikan keindahan tubuh dan hasrat seksualnya ke ruang publik?
Manusia cenderung munafik ketika harus memilih hasrat pribadi atau kepentingan publik. Gejala itu bisa dilihat dari tingginya rating tayangan erotis di berbagai stasiun televisi, koran, atau majalah. Erotisme dikecam sekaligus dinikmati. Sensualitas erotis sebatas komodifikasi bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi seksual bagi kerakusan kekayaan dan popularitas (kapitalisasi) tanpa kaitan mutu peradaban. Ketertarikan seksual pria-wanita berkait apresiasi keindahaan tubuh yang berfungsi bagi kelangsungan sejarah. Tapi, apakah memamerkan keindahan tubuh yang erotis atau melampiaskan hasrat seksual itu bebas dilakukan di ruang publik? Argumen bahwa hal itu merupakan privasi subjektif atas nama estetika, tidaklah relevan ketika dipertontonkan di ruang publik.
Hidup sosial memerlukan sejumlah batasan antara apa yang termasuk ruang publik dan privasi. Semua orang memiliki apresiasi seni dan keindahan, tapi orang bisa berdebat tentang apa yang disebut indah atau estetis dan erotis. Hasrat seksual merupakan bakat bawaan manusia, juga hewan. Tapi hasrat seksual tidak bisa dilampiaskan di sembarang waktu dan tempat.
Bagi pelaku, hubungan intim hingga orgasme merupakan sesuatu yang indah dan bernilai spiritual tinggi, tapi menjijikkan jika dipertontonkan ke ruang publik. Alih-alih mengapai spiritualitas, sebaliknya justru mendegradasi martabat kemanusiaan. Pornografi dan pornoaksi adalah wilayah publik yang bergantung pada apresiasi banyak orang sebagai pengguna, tapi juga berhubungan dengan konsep martabat kemanusiaan. Ada dimensi kecerdasan di dalam ekspresi seni, estetika, sensualitas dan erotisme yang membedakan manusia dari binatang.
Mereka lupa banyak pihak beragumen hanya Tuhan yang berhak menilai apakah tindakannya tergolong erotis atau saleh sehingga orang lain tidak berhak menilai. Mereka lupa bahwa Tuhan menurunkan wahyu dan mengutus nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman menilai. Referensi tindakan juga bisa dicari dari tradisi yang tersusun dari pengalaman universal manusia tanpa bimbingan wahyu. Di sini pertanyaan tentang apa tujuan tindakan erotis atau maksiat dalam praktik seni dan estetika itu selalu penting diajukan.
Orang bertanya tentang efek negatif seni erotis dan siapa penanggung jawab moral bangsa. Bagaimana pun tindakan maksiat dan erotis atau sebaliknya di ruang publik menyumbang perkembangan moral bangsa tersebut. Soalnya, apa ukuran keindahan seni, erotisme dan kemaksiatan, atau kesalehan? Di sini ada sejumlah nilai otentik universal dari semua agama dan peradaban seperti judi, selingkuh, hubungan intim tanpa ikatan perkawinan dan erotisme. Masyarakat dan bangsa memiliki tujuan-tujuan ideal tentang kehidupan manusia dan peradabannya.
Senang atau benci kepada sesuatu bukan ukuran indah atau tidak indah, baik atau benar, tapi berkaitan dengan mutu kehidupan manusia. Jumlah orang yang menyukai judi atau hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan, bukan ukuran judi atau hubungan intim itu boleh dilakukan. Pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan dan sejarah adalah guru terbaik jika bangsa ini ingin meraih kehidupan yang lebih bermartabat.

2.4       Fungsi Keindahan dalam Kehidupan Manusia
            Dalam kehidupan sehari hari, hal yang luar biasa adalah refreshmen yang didasarkan pada kontras. Panas dan dingin, malam dan siang, bayang dan kilap, air dan api, gunung dan lembah, kerja dan bermain adalah konsep dan fenomena penting tanpa dimana kehidupan kita akan menjadi lebih menyedihkan kebutuhan yang sama akan rangsangan, umumnya terdapat didalam Desain. Manusia menikmati keindahan berarti manusia mempunyai pengalaman keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terihat(visual) atau terdengar (auditiry). Walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut keindahan tersebut pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu diciptakan oleh Tuhan, alamiah itu adalah wajar tidak berlebihan dan tidak kurang. Orang menciptakan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang di anugrahkan Tuhan kepada umatnya. Namun demikian orang yang mencontoh keindahan alam belum tentu menghasilkan keindahan.
Pada tahun 1750, Alexander Gottlieb Baumgarten melihat adanya syarat syarat tertentu dalam menafsirkan pekerjaan-pekerjaan Seni. Ia ingin mengetahui secara pasti mengapa seseorang dapat mengalami keindahan dan sanggup mengapresiasi pekerjaan Seni. Selanjutnya ia melakukan penelitian psikoogi Seni. Baumgarten tidak menggunakan lagi kata keindahan melainkan mengambil istilah "estetika" dari bahasa Yunani 'aisthekos', yang dihubungkan dengan persepsi.

2.5.      Hubungan Keindahan dengan Kebenaran
Dalam merumuskan dan mendeskripsikan konsep keindahan yang benar dan kontekstual (yaitu mampu mengarahkan zaman kembali kepada kebenaran Tuhan), kita harus mampu menggali keluar kebenaran yang sudah diwahyukan Allah lewat sejarah keselamatan dan Alkitab, lalu melakukan kontekstualisasi terhadap perkembangan konsep keindahan yang sudah terjadi sepanjang abad. Pertama-tama kita akan membahas perkembangan konsep keindahan yang ada. Ini perlu untuk dapat memahami pergumulan hati manusia sepanjang zaman tentang konsep keindahan ini. Tentu saja kita memahami hal ini dalam kerangka pikir adanya general revelation dan ‘sisa kebaikan’ pada hidup manusia.
Konsep keindahan itu sendiri sangat abstrak ia identik degan kebenaran. Batas keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah dan bukan pada keindahan itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep keindahan adalah orang yang mampu berimajinasi, rajin dan kreatif dalam menghubungkan sesuatu benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi. Demikian pula kata indah diterapkan untuk persatuan orang-orang yang beriman, para nabi, orang-orang yang menghargai kebenaran dalam agama, kata dan perbuatan serta orang-orang yang saleh merupakan persahabatan yang paling indah. jadi keindahan mempunyai dimensi interaksi yang sangat luas baik hubungan manusia dengan benda, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan bagi orang itu sendiri yang melakukan interaksi.





























BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
            Keindahan berasal dari kat indah yang berarti bagus, cantik, elok, dan molek. Salah satu pernyataan mengenai estetika dirumuskan oleh Clive Bell, "keindahan hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri telah memiliki pengalaman sehingga dapat mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya Seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".
            Keindahan dapat ditinjau dari makna yang obyektif dan juga dari segi subyektif. Yang dimaksud keindahan obyektif adalah keindahan yang memang pada obyeknya, yang diharuskan menerima sebagaimana mestinya. Sedangkan yang disebut keindahan subyektif adalah keindahan yang biasanya ditinjau dari segi subyek yang diharuskan menghayatinya.
Manusia menikmati keindahan berarti manusia mempunyai pengalaman keindahan. Pengalaman keindahan biasanya bersifat terihat(visual) atau terdengar (auditiry). Walaupun tidak terbatas pada dua bidang tersebut keindahan tersebut pada dasarnya adalah alamiah. Alam itu diciptakan oleh Tuhan, alamiah itu adalah wajar tidak berlebihan dan tidak kurang. Orang menciptakan itu pada dasarnya mencontoh keindahan yang di anugrahkan Tuhan kepada umatnya. Namun demikian orang yang mencontoh keindahan alam belum tentu menghasilkan keindahan.
            Konsep keindahan itu sendiri sangat abstrak ia identik degan kebenaran. Batas keindahan akan berhenti pada sesuatu yang indah dan bukan pada keindahan itu sendiri. Orang yang mempunyai konsep keindahan adalah orang yang mampu berimajinasi, rajin dan kreatif dalam menghubungkan sesuatu benda dengan benda lain sebagai objek imajinasi. Demikian pula kata indah diterapkan untuk persatuan orang-orang yang beriman, para nabi, orang-orang yang menghargai kebenaran dalam agama, kata dan perbuatan serta orang-orang yang saleh merupakan persahabatan yang paling indah. jadi keindahan mempunyai dimensi interaksi yang sangat luas baik hubungan manusia dengan benda, manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan bagi orang itu sendiri yang melakukan interaksi.

DAFTAR PUSTAKA

            Mustopo, Habib. 1983. Manusia dan Budaya Kumpulan Essay Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
            Sutrisno, Mudji Dkk. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.
Bromiley, Geoffrey W. ed., International StAndard Bible Encyclopedia Vol.1
(Michigan: Eerdmans, 1979).
Sutrisno, FX. Mudji & Prof. Dr. Christ Verhaak, S. J., Estetika Filsafat Keindahan
(Yogyakarta: Kanisius, 1993).
           




Senin, 27 Juni 2011

Tokoh Penting dunia psikologi

Carl Gustav Jung (1875-1962)
Ia adalah Psikolog yang berasal dari Swiss, merupakan seorang pengagum Sigmund Freud, namun tidak sepenuhnya memegenag teori Freud.
Ia sempat bekerja di Burghoeltzli Mental Hospital di bawah bimbingan Eugenen Bleuler, yaitu seorang pakar dan penemu istilah Skizofrenia
Ia membagi jiwa dalam 3 bagian :
Ego : didefinisikan sebagai alam sadar.
Alam bawah sadar personal : mencakup segala sesuatu yang tidak disadari secara langsung, tapi bisa diusahakan untuk disadari.
Alam bawah sadar kolektif : warisan psikis yaitu tumpukan pengalaman, semacam pengetahuan bersama yang kita miliki sejak lahir.
Salah satu contoh pengalaman alam bawah sadar kolektif adalah de ja vu (perasaan bahwa anda pernah ada di tempat anda sekarang sebelumnya, namun tidak ingat kapan).

Alfred Adler (1870-1937)

Ia adalah keturunan Yahudi yang diangkat oleh Sigmund Freud sebagai presiden Viennese Analytic Society.
Teorinya dikenal sebagai berikut :
“Nafsu atau daya motivasi”, yang kemudian dikenal sebagai “dorongan menuju kesempurnaan” inilah hasrat setiap individu, yaitu untuk memenuhi segala keinginan dan potensi yang dalam diri sehingga mendorong kita untuk semakin dekat dengan apa yang diidealkan.
Sebelum menggunakan istilah “dorongan kesempurnaan” Adler telah lebih dahulu memperkenalkan istilah “keinginan merusak” yaitu suatu reaksi yang terjadi dalam diri kita ketika keinginan-keinginan lain tidak terpenuhi.
Karena kata “merusak” condong kea rah yang negatif, maka munculah istilah “dorongan untuk menegaskan diri”

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

Ia dikenal dengan “gerak reflex” yaitu pengkondisian Pavlovian/klasikal, membentuk berbagai gerak reflex
Unconditioned stimulus : yaitu stimulus yang belum menjadi kebiasaan.
Unconditioned response : respon yang belum menjadi kebiasaan.
Ia membuktikan teorinya tersebut dengan kegiatan eksperimen pada anjing.

Burrhus Frederic Skinner (1904-1990)

Lahir tgl. 20 Maret 1904 di Pennsylvania, Amerika serikat.
Ia dikenang sebagai seorang psikolog terkenal setelah Sigmund Freud.
Hal penting dalam pemikirannya dalam dunia Psikologi ialah Operant Conditioning/cara kerja yang menentukan. Merupakan system yang ditawarkannya.
Menurutnya, tiap mahluk hidup pasti selalu berada dalam proses “melakukan sesuatu” terhadap lingkungannya. 


Plato (429-347 BC)
Lahir di Athena tgl. 29 Mei 429 BC. Ia adalah murid dari Sokrates
Plato menulis sebuah buku yang berhubungan dengan Psikologi yang berjudul ‘Phaedo’ yaitu tentang cinta
Ajaran Plato yang terkanal adalah ‘idea’
Plato menyebut jiwa sebagai ‘immaterial’ karena sebelum masuk ke dalam tubuh, jiwa sudah ada di alam para sensoris.
Jiwa menempati dua dunia yaitu : dunia sensoris (penginderaan) dan dunia idea (yang sifat aslinya adalah berpikir)
Menurut Plato, manusia terdiri atas jiwa dan badan (dualism) badan adalah penjara jiwa.


Aristoteles (384-322 BC)
Ia adalah murid Plato. Lahir di Stagirus/Stegira, Chelcidice
Karya Aristoteles dalam bidang Psikologi ialah
‘De Anima’ yaitu tentang sifat-sifat dasar jiwa.
Ia menyampaikan macam-macam tingkah laku manusia dan adanya perbedaan tingkah laku pada organisme-organisme yang berbeda-beda. Tingkah laku organisme memperlihatkan tingkatan seperti tumbuhan : memperlihatkan tingkah laku pada taraf vegetatif (bernafas, makan, tumbuh), hewan : selain tingkah laku vegetatif, juga sensitif (merasakan melalui panca indera), manusia : bertingkah laku vegetatif, sensitif dan rasional. Manusia menggunakan rasio atau pikiran.
‘Parra Naturalia’ tentang catatan-catatan menganai sensasi, persepsi, memori, mimpi
Aristoteles adalah orang pertama yang secara ekslisit menyatakan bahwa manusia adalah binatang yang berakal budi.
Aristoteles menamakan manusia sebagai mahluk karena kodratnya (phusei) hidup dalam masyarakat (politikom zoon).
 



KECERDASAN EMOSIONAL

Selama ini banyak orang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi, maka orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar di banding orang lain. Pada kenyataannya, ada banyak kasus di mana seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual yang tinggi tersisih dari orang lain yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah. Ternyata IQ (Intelligence Quotient) yang tinggi tidak menjamin seseorang akan meraih kesuksesan.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal, Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mampu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Intelligence Quotient (IQ) tidak dapat berkembang. Jika seseorang terlahir dengan kondisi IQ sedang, maka IQ-nya tidak pernah bisa bertambah maupun berkurang. Artinya, jika seseorang terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cukup, percuma saja dia mencoba dengan segala cara untuk mendapatkan IQ yang superior (jenius), begitu pula sebaliknya. Tetapi, Emotional Quotient(EQ) dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.

Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan Emosi menyangkut banyak aspek penting, yang agaknya semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu:
  • empati (memahami orang lain secara mendalam)
  • mengungkapkan dan memahami perasaan
  • mengendalikan amarah
  • kemandirian
  • kemampuan menyesuaikan diri
  • disukai
  • kemampuan memecahkan masalah antar pribadi ketekunan
  • kesetiakawanan
  • keramahan
  • sikap hormat
Orang tua adalah seseorang yang pertama kali harus mengajarkan kecerdasan emosi kepada anaknya dengan memberikan teladan dan contoh yang baik. Agar anak memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, orang tua harus mengajar anaknya untuk :
  • membina hubungan persahabatan yang hangat dan harmonis
  • bekerja dalam kelompok secara harmonis
  • berbicara dan mendengarkan secara efektif
  • mencapai prestasi yang lebih tinggi sesuai aturan yang ada (sportif)
  • mengatasi masalah dengan teman yang nakal
  • berempati pada sesama
  • memecahkan masalah
  • mengatasi konflik
  • membangkitkan rasa humor
  • memotivasi diri bila menghadapi saat-saat yang sulit
  • menghadapi situasi yang sulit dengan percaya diri
  • menjalin keakraban
Jika seseorang memiliki IQ yang tinggi, ditambah dengan EQ yang tinggi pula, orang tersebut akan lebih mampu menguasai keadaan, dan merebut setiap peluang yang ada tanpa membuat masalah yang baru.