1. KONSEP SEHAT
Secara harfiah sehat berarti kondisi seseorang dimana seluruh bagian tubuh baik jasmani dan rohani dari manusia dapat bekerja sama dengan baik, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dari pengertian di atas saja kita sudah dapat menggambarkan apa arti sehat dan apa saja hal-hal yang “menyangkut” tentang sehat itu sendiri.
Menurut WHO (1947) Sehat itu sendiri
dapat diartikan bahwa suatu keadaan yang sempurna baik secara fisik, mental dan
sosial serta tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan (WHO, 1947).
Definisi
WHO tentang sehat mempunyai karakteristik berikut yang dapat meningkatkan
konsep sehat yang positif (Edelman dan Mandle. 1994):
1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.
2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal.
3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.
Sehat Menurut Depkes RI:
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradap -tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya.
1. Memperhatikan individu sebagai sebuah sistem yang menyeluruh.
2. Memandang sehat dengan mengidentifikasi lingkungan internal dan eksternal.
3. Penghargaan terhadap pentingnya peran individu dalam hidup.
Sehat Menurut Depkes RI:
Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor -faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradap -tasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya.
Konsep
sehat dalam hal ini bukan hanya apa arti sehat seperti yang “digambarkan” oleh
pengertian di atas yaitu fungsi tubuh yang berfungsi dan berkoordinasi dengan
baik serta bekerja dengan semestinya. Setiap usaha-usaha dalam “mencapai” dan
mempertahankan kesehatan itu merupakan konsep sehat itu sendiri. Banyak usaha
yang dilakukan setiap orang untuk mencapai apa itu yang kita sebut dengan kata
“sehat”, entah itu dengan meminum obat-obatan secara teratur setiap hari,
berolahraga dengan jadwal ketat,mengkonsumsi makanan yang organik, diet ketat,
bahkan menempuh “jalan” yang bisa dianggap sedikit di luar nalar.
KESIMPULAN:
Konsep sehat itu
bukan hanya dimana seluruh bagian/organ tubuh berfungsi dan bekerja dengan baik
(bagaimana semestinya), tetapi juga setiap usaha-usaha yang dilakukan agar
dapat “mencapai” kesehatan dan mempertahankannya.
REFERENSI:
Semioun,
yustinus.2006. Kesehatan Mental 1.Yogyakarta: Kanisius
Sutardjo A. Wiraminardja.2010.Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : Refika aditama
Sutardjo A. Wiraminardja.2010.Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : Refika aditama
http://4jipurnomo.wordpress.com/konsep-sehat/
2. SEJARAH KESEHATAN
MENTAL
Problem kesehatan mental sebenarnya
sudah ada sejak manusia sendiri itu ada. Sejak dulu manusia tidak hanya
mengalami sakit jasmani tetapi juga merasakan kesedihan, tertekan dan putus
asa. Tentu saja orang juga berusaha untuk menyembuhkan sakit non-jasmaniahnya
baik dengan cara yang rasional misalnya dengan minta nasehat pada orang tua,
orang yang dituakan atau dianggap bijak dan dengan cara yang irasional dengan
pergi ke dukun atau melakukan penyembahan pada benda-benda yang dianggap
keramat. Perkembangan kebudayaan, teknologi dan ilmu pengetahuan mempengaruhi
cara-cara orang untuk mengatasi problem non jasmaniah yang semakin lama tumbuh
menjadi ilmu pengetahuan sendiri.
Sejarah kesehatan mental belum
diketahui secara jelas seperti bidang ilmu kesehatan lainnya. Hal ini dikarenakan
masalah mental bukan merupakan masalah fisik yang dengan mudah dapat diamati
dan terlihat. Berbeda dengan gangguan fisik yang dapat dengan relatif mudah
dideteksi, seklaipun oleh anggota keluarganya sendiri. Hal ini lebih karena mereka
sehari-hari hidup bersama sehingga tingkah laku-tingkah laku yang mengindikasi
gangguan mental sering dianggap sebagai hal yang biasa oleh keluarganya, bukan
sebagai gangguan.
Khusus untuk masyarakat Indonesia,
masalah kesehatan mental saat ini belum begitu mendapat perhatian yang serius.
Krisis yang saat ini melanda membuat perhatian terhadap kesehatan mental kurang
terpikirkan. Faktor budaya pun seringkali membuat masyarakat memiliki pandangan
yang beragam mengenai penderita gangguan mental. Oleh karena itu berikut
disajikan sejarah mengenai perkembangan kesehatan mental.
A. Gangguan Mental Tidak Dianggap Sakit
Tahun 1600 dan sebelumnya
Pandangan masyarakat saat itu
menganggap bahwa orang yang mengalami gangguan mental adalah karena mereka dimasuki
oleh roh-roh yang ada disekitarnya. Mereka dianggap melakukan kesalahan kepada
roh-roh untuk menyatakan keinginannya. Oleh karena itu mereka sering kali tidak
dianggap sakit.
Tahun 1692
Mendapat pengaruh para imigran dari
Eropa yang beragama nasrani, di Amerika orang yang bergangguan mental saat itu
sering dianggap terkena sihir/guna-guna atau dirasuki setan.
Sejarah
kesehatan mental di Eropa, khususnya inggris agak sedikit berbeda. Sebelum abad
ke-17, orang gila disamakan dengan penjahat/kriminal sehingga mereka dimasukan
ke dalam penjara.
B. Gangguan
Mental Dianggap Sebagagai Sakit
Tahun 1724
Pendeta Cotton Mather (1663-1728)
mematahkan takhayul yag hidup di masyarakatberkaitan dengan sakit jiwa dengan
memajukan penjelasan secara fisik mengenai sakit jiwa itu sendiri.
Tahun 1812
Benjamin Rush (1745-1813) menjadi
salah satu pengacara mula-mula yang menangani masalah penangan secara manusiawi
unruk penyakit mental. Pada masa ini tunbuh kepercayaan bahwa penanganan di
rumah sakit jiwa merupakan hal yang benar dan secara ilmiah untuk menyembuhkan
kegilaan. Pada tahun 1842 psikiater mulai masuk dan mendapat peranan penting
dir umah sakit mengagntikan ahli hukum yang selama ini berperan.
Tahun 1843
Kurang lebih terdapat 24 rumah
sakit, tapi hanya ada 2.561 tempat tidur yang tersedia untuk menangani penyakit
mental di Amerika Serikat.
Tahun 1908
Clifford Beers (1876- 1943)
mendirikan masyarakat Connecticut untuk mental Higiene yang kemudian pada tahun
berikutnya berubah menjadi komite nasional untuk mental Higiene yang
merupakan pendahulu asosiasi kesehatan mental nasional.
Tahun 1910
Emil Kraeplin pertama kali
mengagmbarkan penyakit Alzheimer dan
juga mengembangkan alat tes yang digunakan untuk mendeteksi gangguan epilepsi.
C. Gangguan Mental Dianggap Bukan Sakit
Tahun 1961
Thomaz Szasz membuat tulisan yang
berjudul The Myth of Mental Illness,
yang mengemukankan dasar teori yang menyatakan bahwa “ sakit mental” sebenarnya
tidaklah betul-betul “sakit” tetapi merupakan tindakan orang yang secara mental
tertekan karena harus bereaksi terhadap lingkungan.
D.
Melawan Kriminalitas Terhadap Gangguan Mental
Tahun 1997
Peneliti menemukan kaitan genetik
pada gangguan biopolar yang menunjukan bahwa penyakit ini diturunkan.
KESIMPULAN
Berdasarkan sejarah kesehatan mental
di atas. Dapat disimpulkan bahwa ternyata pandangan masyarakat terhadap apa
yang disebut sakit mental/ sakit jiwa/ gangguan mental ternyata berbeda-bedadan
mengalami perkembangandari waktu ke waktu. Makna gangguan mental yang
berbeda-beda tersebut membawa implikasi yang berbeda juga dalam menanani
individu yang terkena ganguan mental. Jadi pengertian Kesehatan mental
itu sendiri ialah kemampuan seseorang menyesuaikan diri terhadap berbagai
tuntutan perkembangan sesuai kemampuannya, baik tuntutan dalam diri sendiri
maupun luar dirinya sendiri, seperti menyesuaikan diri dengan lingkungan rumah,
sekolah, lingkungan kerja dan masyarakat serta teman sebaya.
REFERENSI:
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental:
kosep, cakupan, dan perkembangan. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Schultz
D.Psikologi Pertumbuhan.Model-model
Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanikus, 1991.
Drs.Sumandi
Suryabrata. Psikologi Kepribadian.
Jakarta : Rajawali Pers, 1982.
Suryabrata,
S. 2003. Psikologi Kepribadian.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
3. PENDEKATAN KESEHATAN MENTAL
a. Orientasi
Klasik
Orientasi klasik yang umumnya
digunakan dalam kedokteran termasuk psikiatri Mengartikan sehat sebagai kondisi
tanpa keluhan, baik fisik maupun mental. Orang yang sehat adalah orang yang
tidak mempunyai keluhan tentang keadaan fisik dan mentalnya. Sehat fisik
artinya tidak ada keluhan fisik. Sedang sehat mental artinya tidak ada keluhan
mental. Dalam ranah psikologi, pengertian sehat seperti ini banyak menimbulkan
masalah ketika kita berurusan dengan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa
yang gejalanya adalah kehilangan kontak dengan realitas. Orang-orang seperti
itu tidak merasa ada keluhan dengan dirinya meski hilang kesadaran dan tak
mampu mengurus dirinya secara layak. Pengertian sehat mental dari orientasi
klasik kurang memadai untuk digunakan dalam konteks psikologi. Mengatasi
kekurangan itu dikembangkan pengertian baru dari kata ‘sehat’. Sehat atau
tidaknya seseorang secara mental belakangan ini lebih ditentukan oleh kemampuan
penyesuaian diri terhadap lingkungan. Orang yang memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dapat digolongkan sehat mental.
Sebaliknya orang yang tidak dapat menyesuaikan diri digolongkan sebagai tidak
sehat mental.
b. Orientasi
Penyesuaian Diri
Dengan menggunakan orientasi
penyesuaian diri, pengertian sehat mental tidak dapat dilepaskan dari konteks
lingkungan tempat individu hidup. Oleh karena kaitannya dengan standar norma
lingkungan terutama norma sosial dan budaya, kita tidak dapat menentukan sehat
atau tidaknya mental seseorang dari kondisi kejiwaannya semata. Ukuran sehat
mental didasarkan juga pada hubungan antara individu dengan lingkungannya.
Seseorang yang dalam masyarakat tertentu digolongkan tidak sehat atau sakit
mental bisa jadi dianggap sangat sehat mental dalam masyarakat lain. Artinya
batasan sehat atau sakit mental bukan sesuatu yang absolut. Berkaitan dengan
relativitas batasan sehat mental, ada gejala lain yang juga perlu
dipertimbangkan. Kita sering melihat seseorang yang menampilkan perilaku yang
diterima oleh lingkungan pada satu waktu dan menampilkan perilaku yang
bertentangan dengan norma lingkungan di waktu lain. Misalnya ia melakukan
agresi yang berakibat kerugian fisik pada orang lain pada saat suasana hatinya
tidak enak tetapi sangat dermawan pada saat suasana hatinya sedang enak. Dapat
dikatakan bahwa orang itu sehat mental pada waktu tertentu dan tidak sehat
mental pada waktu lain. Lalu secara keseluruhan bagaimana kita menilainya?
Sehatkah mentalnya? Atau sakit? Orang itu tidak dapat dinilai sebagai sehat
mental dan tidak sehat mental sekaligus.
c. Orientasi
Pengembangan Potensi
Seseorang dikatakan mencapai taraf
kesehatan jiwa, bila ia mendapat kesempatan untuk mengembangkan
potensialitasnya menuju kedewasaan, ia bisa dihargai oleh orang lain dan
dirinya sendiri. Dalam psiko-terapi (Perawatan Jiwa) ternyata yang menjadi
pengendali utama dalam setiap tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal
pikiran semata-mata, akan tetapi yang lebih penting dan kadang-kadang sangat
menentukan adalah perasaan. Telah terbukti bahwa tidak selamanya perasaan
tunduk kepada pikiran, bahkan sering terjadi sebaliknya, pikiran tunduk kepada
perasaan. Dapat dikatakan bahwa keharmonisan antara pikiran dan perasaanlah yang
membuat tindakan seseorang tampak matang dan wajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa
tujuan Hygiene mental atau kesehatan mental adalah mencegah timbulnya gangguan
mental dan gangguan emosi, mengurangi atau menyembuhkan penyakit jiwa serta
memajukan jiwa. Menjaga hubungan sosial akan dapat mewujudkan tercapainya
tujuan masyarakat membawa kepada tercapainya tujuan-tujuan perseorangan
sekaligus. Kita tidak dapat menganggap bahwa kesehatan mental hanya sekedar
usaha untuk mencapai kebahagiaan masyarakat, karena kebahagiaan masyarakat itu
tidak akan menimbulkan kebahagiaan dan kemampuan individu secara otomatis,
kecuali jika kita masukkan dalam pertimbangan kita, kurang bahagia dan kurang
menyentuh aspek individu, dengan sendirinya akan mengurangi kebahagiaan dan
kemampuan sosial.
KESIMPULAN
Dengan contoh di atas dapat kita
pahami bahwa tidak ada garis yang tegas dan universal yang membedakan orang
sehat mental dari orang sakit mental.
Sehat atau sakit mental bukan dua hal yang secara tegas terpisah. Sehat atau
tidak sehat mental berada dalam satu garis dengan derajat yang berbeda.
Berdasarkan orientasi penyesuaian diri, kesehatan mental perlu dipahami sebagai
kondisi kepribadian seseorang secara keseluruhan. Penentuan derajat kesehatan
mental seseorang bukan hanya berdasarkan jiwanya tetapi juga berkaitan dengan
proses pertumbuhan dan perkembangan seseorang dalam lingkungannya.
REFERENSI:
0 komentar:
Posting Komentar